Kisah di bawah ini adalah saduran dari Majalah Nabila Vol.2 No.13 Oktober 2005, saya rangkum untuk mengenang sebuah kisah di malam lebaran beberapa tahun lalu yang sempat merubah khazanah keseharian saya dan semoga dapat menjadi cermin bagi pembaca, terutama pencerahan buat saya tentunya.
Aku tak tahu kemana kami akan pergi. Akan tetapi sebagaimana kebiasaan kami berdua, malam seperti ini pada malam hari biasanya kami habiskan untuk shoping dan plesiran.
Ketika sedang duduk di kursi mobil disamping Indra, ia bertanya kepadaku, ”Wan, apa kamu sudah mempersiapkan baju baru?”. ”belum”, jawabku seketika. ”Bagaimana kalau kita mampir di tukang jahit sekarang?” tanyanya. Aku menggelengkan-gelengkan kepala merasa heran.
Aku bertanya kepadanya, ”Tinggal dua hari lagi lebaran, dimana kita bisa mendapatkan tukang jahit yang bisa menerima order kita?” keherananku sama sekali tidak menarik perhatiannya. Ia membawa mobilnya dengan kencang menembus keramaian malam dan tiba di depan penjahit yang sudah dikenalnya sejak lama.
Ia berkata kepada penjahit itu, ” Kami ingin bergembira di hari lebaran, dan kami ingin memakai pakaian baru!” tukang jahit tertawa dan menjawab sambil mengangkat bahunya. ”Kenapa tidak datang lebih awal kawan?” Indra menjawab sambil mengibaskan tangannya penuh arti, ”Kami tambah ongkosnya, yang penting besok harus selesai.” Ia mengulang lagi perjanjiannya itu, ”Pokoknya besok.” Nampaknya sang tukang jahit keberatan menerimanya. Tetapi Indra langsung membayar lunas ongkosnya dan terus mengulang, ”Ingat besok sore harus selesai”.
Demikianlah dengan perasaan terpaksa tukang jahit langsung mengukur setelan yang kami pesan. Hingga mendekati fajar, kami terus bersenang-senang, lupa dan lalai. Satu malam berlalu tanpa berdzikir kepada Allah SWT walau hanya sekali, padahal bisa jadi malam itu adalah malam Lailatul Qadar.
Hidup tanpa rasa dan kebahagiaan juga tanpa aroma. Kami melalui segala pintu maksiat, menyingkap semua tabirnya. Kami menyangka bahwa semua itu tidak akan dihisab. Selalu tampak gembira dan senang. Namun dalam hati terdapat kedukaan dan kesedihan.
Kami berpisah sebelum fajar menyinsing, setelah sebelumnya kami melalui malam dengan berhura-hura, bertemu dan berkumpul dalam kemaksiatan dan dosa. Esoknya kami tidur lama sekali, dari mulai fajar hingga datang waktu Azar. Puasa, tetapi tidak shalat, kalaupun shalat tanpa menghadirkan hati.
Satu jam berpuasa, kala sudah terbangun dari tidur untuk menunggu Magrib terasa berhari-hari. Aku mengisinya dengan main game, membaca majalah dan mengobrol dengan seorang teman lewat telepon. Namun seketika suara yang saya dengar berubah, ”Apakah kamu belum mendengar, bahwa Indra sakit?” . ”Belum”, jawabku. ”Kemarin sore sampai subuh tadi, ia masih sehat wal’afiat”, tambahku setengah tidak percaya. Pembicaraanpun terputus.
Hal itu tidak berarti apa-apa bagiku, selain kabar yang menurutku belum jelas kebenarannya. Muadzin mengumandangkan suaranya tanda shalat magrib dan waktu berbuka puasa sudah tiba. Setelah beberapa saat kemudian aku merasakan kekenyangan setelah balas dendam dengan beberapa macam makanan.
Tiba-tiba telepon berdering, dari suaranya saya kenal kakaknya Indra. Aku bertanya-tanya ada apa gerangan. Apakah ia akan menanyakan tentang apa yang aku perbuat bersama Indra pada malam itu atau ada orang yang memberitahukan kesalahan dan kekeliruan kami. Tetapi suaranya terdengar resah dan terengah-engah. Ucapannya terputus-putus. Ia memberitahu, bahwa Indra sudah meninggal dunia.
Aku terbungkam, tak percaya sama sekali. Seolah-olah masih melihatnya dihadapanku. Bahkan sore ini kami punya janji untuk pergi ke mal dan mengambil pakaian kami yang selesai dijahit. ”Bagaimana ia bisa meninggal dunia?”. Tanyaku setengah teriak, ”Ketika pulang ke rumah, mobilnya bertabrakan dengan mobil lain, kemudian ia dibawa ke rumah sakit dan meninggal zhuhur hari ini. Tolong beritahu teman-teman kamu Insya Allah besok zhuhur kami akan menshalatkannya”.
Aku akhirnya yakin bahwa kejadian itu memang nyata..... hari-hari Indra memang sudah berakhir. Akupun percaya, bahwa kejadian dan kematian itu memang benar adanya, dan bahwa pertemuan kami nanti adalah di alam lain, bukan di mal atau penjahit. Ia sudah mengenakan kain kafan, tidak sempat lagi memakai baju baru yang kami pesan bersama buat lebaran.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Pikiranku sungguh kacau, kepalaku terasa pusing. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah Indra memperjelas berita yang menyakitkan itu. Ketika aku mengendarai mobil bututku,... di dashboardnya aku menemukan kaset. Segera aku memutarnya. Terdengarlah suara Imam al-Haram yang seakan membuat semerbak sekelilingku oleh kemerduan suaranya. Seluruh anggota tubuhku terasa dingin dan gemetaran, seketika aku tertunduk, seolah-olah dunia terbalik dan kiamat sudah datang. Aku memarkirkan mobil dan mendengarkannya, seolah-olah baru kali ini aku mendengar lantunan Indah Ayat Suci Al-Quran. Tanpa terasa,... butiran bening yang hangat menetes dari sudut mataku yang semakin lama semakin deras dan lebih cepat dari suara Imam yang aku dengar. Aku mengangkat tanganku untuk mengusap air mata.
Sementara hatiku terus mengulang-ulang pantulan kalimat-kalimat itu. Kilatan asa mulai membias dari nuraniku yang terdalam menyusul mulai redanya tetesan air mataku. Aku tobat yang tulus. Aku mulai bersahabat dengan orang-orang baik dan teman-teman yang shalih.
Orang yang selama ini kubenci, menjadi orang yang paling kucintai. Demikian pula orang yang selama ini kulecehkan, sekarang menjadi orang paling tinggi derajatnya dihadapanku. Orang yang selama ini kuhina, menjadi orang yang paling mulia di sisiku.
Dahulu aku sudah berada di pinggiran jurang Neraka. Namun sekarang, aku mulai melihat kebahagiaan yang selama ini tidak kukenal. Hati terasa lapang, sementara mataku membayangkan ketenangan, kewibawaan dan keteguhan.
Ketika aku singgah di Tukang jahit menanyakan pakaian yang pernah kami pesan, Ia balik bertanya tentang Indra. Aku katakan bahwa Ia sudah meninggal dunia. Ia mengulangi nama yang ditanyakan tadi. Kembali kujawab,”sudah meninggal dunia”. Ia mulai menggambarkan kepadaku bentuk orang yang ditanyakan itu, mobilnya dan gaya bicaranya. Tetap saja aku jawab, ”Iya, dia sudah meninggal dunia”. Ketika ia memperlihatkan kepadaku pakaian yang kami pesan kemarin, kembali ia bertanya, ”Apakah benar ia sudah meninggal dunia?”
Pakaianku berada disamping pakaiannya. Tempat dudukku di mobil juga di sebelah tempat duduknya. Namun bedanya, ia sudah tiada sementara aku masih memiliki sisa umur yang mudah-mudahan bisa kugunakan untuk mengejar ketinggalanku selama ini.
Aku bersyukur dan memuji dan memuji Allah SWT atas segala petunjuk-Nya yang telah membawa aku ke pintu Taubat. Atas kembalinya aku dan atas perbedaanku kini. Namun masih banyak saudaraku disekitar aku, yang masih tertutupi hatinya, masih ternodai debu kemaksiatan dan dosa. Apakah aku sanggup membiarkannya? Semoga Allah SWT memberikan aku kekuatan untuk senantiasa menyisingkan lengan baju untuk tidak membiarkannya, paling tidak mendo’akannya.
Dihadapan azab pedih yang menanti, jilatan api neraka dan ancaman siksa, berbagai kesulitan dan hal-hal yang menakutkan. Aku tidak akan membiarkannya, karena Allah SWT telah memberiku petunjuk. Masih ada buku, masih ada kaset, dan masih ada beribu-ribu yang lainnya. Antara aku dan para sahabatku yang belum kembali ke jalan-Nya, masih ada nasihat yang tulus.
BERLANGGANAN VIA E-MAIL
Sabtu, 19 September 2009
Malam Lebaran yang Bermakna
Label:
Do you Know
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar