Karya : Egina
Save our earth Bumi memejamkan matanya, mencoba beristirahat dari kerja rodinya yang tidak pernah dihargai. Tapak kaki kecil yang diiringi derap langkah riang berlari kearahnya dan memeluknya, yang sejenak membangunkannya dari mati suri. Ia berkata “bumi jangan tidur, aku sayang bumi!”. Mendengar itu bumi meneteskan air mata, yang membasahi semua dengan kepiluan hatinya. Anak itu mengusapnya dan berkata “bumi jangan nangis, kasihan ayah dan ibu ku, saudara-saudara ku dan semua orang,
mereka pasti akan menangis juga, karena air mata bumi mengganggu aktivitas mereka!”. Mendengar itu bumi tak mau egois, dia mencoba menahannya dan merubah semua itu menjadi tawa yang menggelegar, untuk melampiaskan kepiluan hatinya. Tapi… cepat-cepat tangan anak itu menutup mulutnya, dan mendendangkan suaranya, “berhenti bumi, kau mengusik semua dengan tawa mu yang keras, kau menghancurkan semua yang ada, kasihan mereka!”. Bumi mulai muak, dalam hati ia berkata “dasar, masih kecil saja kau telah tahu rasa egois, tak mementingkan aku, sama halnya kau dengan mereka!”. Bumi merasa serba salah, ia marah dan membuat wajahnya memerah, ia goncangkan tubuhnya kuat-kuat, agar terasa amarahnya. Anak itu menangis melihat ulah bumi, ia mencoba dengan tangan kecilnya untuk menenangkan bumi, sambil merengek “bumi jangan marah, aku takut… bumi…tenang…bumi…tenang, aku sayang bumi!”. Bumi terdiam, menghela nafas yang panjang, tapi anak itu berbisik, “ssst…hati-hati dengan nafas mu bumi”. Bumi menatap wajah anak itu, ia mencoba mengusap sisa air matanya, bumi pun berkata, “aku kesal, muak dan cukup lelah. Apa yang pernah bangsa kalian lakukan untuk kebahagiaan dan ketenangan ku? Kalian mengeksploitasi ku dengan mencukur habis rambut ku, sehingga aku tampak konyol diusia ku yang renta ini. Kalian membuat aku berat dengan tindihan besi-besi yang menjulang tinggi di tubuh ku, yang harus ku pikul berpuluh-puluh tahun, pada hal aku sudah tua!! Kalian membuat aku terjaga dari istirahat ku dengan suara-suara bising yang kalian buat dari setumpuk besi-besi berengsek yang menghamburkan asap dan membuat paru-paru ku rusak! Aku muak, setiap kali aku menangis karena besi yang kalian paksa taruh di badan ku, kalian pasti merengek dan menyalahi ku. Setiap aku bersin dan batuk akibat dari besi-besi rongsokan mu itu, kalian pasti meraung-raung sambil menyesali ku. Hai bodoh… aku juga punya perasaan!!!” Anak itu mendekati bumi, memegang jantung hatinya, “bumi… aku berjanji aku pasti akan membela mu, tidak akan menggunduli rambut mu, menaruh beban yang berlebihan, dan membuat mu terjaga dari istirahat mu. Tapi tidak sekarang bumi, tangan ku masih terlalu kecil, dan perkataan ku di usia yang masih sangat muda ini tak akan di dengarkan. Bersabarlah bumi…bersabarlah aku sayang bumi!” bumi menanggapi perkataan anak itu dengan nada yang sedih dan putus asa, ia berkata “sampai kapan… sampai kau benar-benar telah mengenal uang??? Sampai aku tak kuat lagi menahan semua ini?!” anak tersebut memancarkan kesedihan di matanya seolah ia menyesali telah menjadi bangsanya, ia mencoba menarik kepercayaan bumi dengan berbisik “aku mengerti pasti kau sulit percaya kepada ku… tapi percayalah bumi, setidaknya kau memiliki harapan. Bumi… aku sayang bumi!!” anak itu berlari menjauh dari bumi dan bumi…. MENUNGGU
BERLANGGANAN VIA E-MAIL
Senin, 14 September 2009
Save our Earth
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar